Antara bantahan dan Ghibah
Oleh: Abu Abdirrahman bin Thoyyib as-Salafy
Sering kita mendengar celotehan sebagian orang jika dia menyaksikan seseorang membantah/menyingkap kesesatan kelompok-kelompok/dai-dai yang menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah serta manhaj salaf (ahli sunnah wal jama’ah), dia mengatakan (entah dimimbar-mimbar jum’at atau dimajlis-majlisnya) : “Jagalah lisanmu, janganlah engkau mengghibah (ngrasani) saudaramu sendiri sesama muslim, bukankah Allah berfirman : ‘Janganlah sebagian kamu menghibah (menggunjing) sebagian yang lain sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?’”. (QS. Al-Hujurat : 12).
Apakah benar celotehan mereka ini??? Mari kita simak bersama sebagian ucapan-ucapan emas para ulama ahlus sunnah dalam masalah ini. Selamat menikmati -semoga Allah menampakkan yang benar itu benar dan memberi kita kekuatan untuk mengikutinya dan semoga Allah menampakkan yang batil itu batil serta memberi kita kekuatan untuk menjauhinya- :
1. Imam Nawawi –rahimahullah- (salah seorang ulama madzhab Syafi’i yang meninggal tahun 676 H) mengatakan dalam kitabnya “Riyadhus Shalihin” bab “penjelasan ghibah yang dibolehkan” :
“Ketahuilah bahwa ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar dan disyariatkan, yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan ghibah tersebut. Hal ini ada dalam enam perkara :
a. Mengajukan kedzaliman orang lain. Dibolehkan bagi orang yang didzalimi untuk mengajukan yang mendzaliminya kepada penguasa atau hakim dan selain keduanya dari orang-orang yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk mengadili sidzalim itu. Orang yang didzalimi itu boleh mengatakan si fulan itu telah mendzalimi/menganiaya diriku.
b. Meminta pertolongan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat dosa kepada kebenaran. Seseorang boleh mengatakan kepada yang memiliki kekuatan yang ia harapkan bisa merubah kemungkaran: si fulan itu berbuat kejahatan ini dan itu, maka nasehati dia dan larang dia berbuat jahat. Maksud ghibah disini adalah merubah kemungkaran/kejahatan, jika tidak bermaksud seperti ini maka ghibah tersebut haram.
c. Meminta fatwa. Orang itu mengatakan kepada sang pemberi fatwa : ayahku atau saudaraku atau suamiku telah mendzalimi diriku, apakah hal ini boleh? Bagaimana jalan keluarnya?. Ghibah seperti ini boleh karena suatu kebutuhan/tujuan (yang syar’i-pent). Tapi yang lebih utama tidak disebutkan (personnya/namanya) semisal: Bagaimana pendapat Syaikh tentang seorang suami atau ayah yang begini dan begitu? Hal ini juga bisa dilakukan dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan meskipun tanpa menyebut nama/personnya. Tapi menyebutkan nama/personnya dalam hal ini hukumnya boleh seperti yang akan disebutkan dalam hadits Hindun -insya Allah-